Keenakan Dilakor (Dilema Pelakor)


 


Setakat ini banyak istri atau pasangan lain yang semakin risau dengan maraknya para pelakor (perebut laki orang). Hal ini tak hanya didukung oleh ramainya pemberitaan di media, tetapi juga sejumlah tayangan TV yang berkisah hal serupa. Para istri menjadi gemas dan geregetan dengan laku tak tertib tersebut.
 
Akan tetapi, saya yakin bahwa pria bukanlah sebuah objek seperti benda yang dapat diperebutkan sebarang orang. Istilah “pelakor” hanya muncul sebagai pengkambinghitaman dari pelaku liar sesungguhnya. Maksud saya, sejatinya pria sendirilah yang memasang badan untuk dilakor, atau justru dia yang memulai sebuah hubungan dengan wanita selain pasangannya yang sah. Ketika hubungan gelap ini berlanjut, perempuan selingkuhan kemudian menuntut status (dengan pernikahan). Di sinilah sematan pelakor mulai muncul.
 
Menjadi perempuan dalam budaya kita memang kerap tak beruntung: ketidakadilan, stigma dan kekerasan selalu mengintai mereka. Istilah pelakor ini adalah bagian dari stigma tersebut; dalam hal ini yang direndahkan hanya pihak perempuan, sedangkan si pria terbebas dari stigma. Padahal, bisa jadi, pihak prialah yang pertama kali kegenitan.
 
“Saya lebih sumringah, kan, sejak jatuh cinta lagi?” kata Sandy (43) sambil tertawa kepada saya usai menceritakan hubungannya dengan seorang janda, Warni (32).
 
Sandy sudah memiliki istri, sebut saja Warna (36), yang dinikahinya pada 1999 lalu. Dari hasil pernikahannya, dia dikaruniai satu anak perempuan yang saat ini berumur 17 tahun.
 
Orang awam, jika mengetahui hubungan terlarang tersebut, segera akan menggelari Warni sebagai pelakor. Padahal, yang memulai genit di ruang chat adalah Sandy. Dia mengaku akan menikahi Warni secara siri, dengan sejumlah alasan.
 
Salah satu alasan terkuat menurut Sandy adalah dia ingin memiliki anak laki-laki supaya nama keluarganya dapat dilestarikan. Istri pertamanya, menurutnya, dilarang oleh dokter hamil lagi karena memiliki riwayat darah tinggi yang dapat membahayakan nyawanya jika nanti melahirkan.
 
Untuk memuluskan langkahnya, salah satu upaya Sandy adalah meminta istrinya mengaji ke salah satu ustaz tenar pelaku poligami. Saat ini, istrinya baru mendengar ceramah-ceramah sang ustaz lewat Youtube, belum datang langsung.
 
“Wanita mulia itu yang mau dipoligami kan, pak?!”
“Apa?????!!!!” Saya pun memintanya menyebut satu nama wanita mulia yang dia kenal dalam agamanya.
“Khadijah,” sebutnya.
Ternyata dia tidak tahu jika Khadijah tidak pernah dipoligami. Lalu saya tambahkan bahwa Maryam dan Fathimah juga tidak pernah dipoligami.
Sandy mulai senyum-senyum galau dan garuk-garuk kepala.
“Pak Sandy, siapa yang poligami atau suka main perempuan di keluarga Anda: ayah atau kakek?” tanyaan saya menohoknya.
“Bapak saya, pak.”
“Nah!”
 
Ingin memiliki anak lelaki seperti yang dibilang Sandy hanya alasan di permukaan belaka. Masalah sesungguhnya adalah dia terjerembab di dalam “spiral”, tak dapat keluar dari siklus yang dialami keluarganya--sebuah gejala yang lazim dialami anak yang lahir dari keluarga disfungsi. Hal ini ditambah fakta bahwa Sandy cukup sering ke tempat mesum. Lagipula, Sandy juga mengaku sudah beberapa kali berhubungan seks dengan Warni.

Terperangkap

Analis pernikahan John Gottman mengatakan bahwa periode paling rawan dalam pernikahan ada dua, yakni tujuh tahun pertama (0-7 tahun) dan ketika perkawinan berumur 16-20 tahun. Periode pertama rawan karena di situ banyak membutuhkan penyesuaian, seperti kelahiran anak, tempat tinggal baru, menyeimbangkan karir dan keluarga, dll. Intinya, di periode ini ada transisi identitas. Sebanyak 50 persen pasangan bercerai di periode ini. Sementara itu, pada periode kedua, pasangan biasanya memiliki anak yang sudah remaja. Pada periode ini, pasangan rentan kehilangan keintiman dengan pasangan dan kebersamaan yang hangat bersama anggota keluarga yang lain.
 
Warni adalah perempuan yang hubungan dengan suaminya kandas di periode pertama, dengan membuahkan seorang putri yang saat ini berusia 9 tahun.
 
Sementara itu, Sandy dan istrinya sedang berada di periode rawan yang kedua. Dia mengaku anaknya yang sudah remaja tak lagi dapat diajak bermain. Di ranjang, Sandy rata-rata hanya melakukan kegiatan seksual 2 bulan sekali—bandingkan dengan pengakuan Sandy yang beberapa waktu belakangan rata-rata menginap di hotel di luar kota sebulan sekali dengan Warni.
 
“Bagaimana jika nanti saya ceraikan istri pertama saya?” kilahnya ketika saya jelaskan bahwa hubungannya dengan Warni akan merugikan istri pertama, anaknya, dan kemungkinan dirinya pula.
Sandy mengaku bahwa cintanya dengan Warni sangat menggebu-gebu, bahkan mengalahkan saat ia jatuh cinta dengan Warna saat akan menikah dulu.
 
Warni saat ini, menurutnya, semakin sering meminta untuk dinikahi. “Biar gak dosa!” kata Sandy menirukan Warni.
 
Kepada Sandy, saya meminta untuk dipertemukan dengan Warni. Saya menawarkan diri untuk menjelaskan sistem jatuh cinta, pernikahan, dan disfungsi keluarga kepada mereka berdua.
“Nggak,, nggak. Yang ada nanti saya gagal nikah kalau dia ketemu Anda,” tukas Sandy.
Jadi, masih relevankah istilah “pelakor” ketika yang dilakor justru keenakan? Mengapa cara pandangnya harus menyudutkan perempuan yang masuk ke dalam hubungan orang lain, bukan pria yang mengundangnya?
 
Penulis (Dhuha Hadiyansyah)

No comments for "Keenakan Dilakor (Dilema Pelakor)"